(Berita Daerah - Sulawesi) - Panen raya cengkeh di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) diperkiraan akan terjadi pada 2010 mendatang. Tetapi hasil panen melimpah tidak menjamin petani sejahtera, sebab pengijon kini banyak bergentayangan.
Kuku-kuku mereka mencengkeram petani, hingga mereka tak mungkin berkelit. Pengijon tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Petanilah yang mendekat kepada mereka, saat mereka terdesak kebutuhan rumah tangga, sehingga mereka meminjam uang dengan jaminan hasil panen.
Ketua Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia(APCI), Octavianus Rondonuwu, mengatakan, kedekatan petani cengkeh pada pengijon merupakan kenyataan yang terus terjadi dan sudah berlangsung sejak jaman dulu kala.
"Petani membutuhkan dana, sementara berharap ke perbankan hampir tidak mungkin maka jalan satu-satunya yang paling mudah dan cepat yakni lari ke pelepas uang," kata Octavianus.
Para pemilik uang pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, mereka langsung melancarkan aksi, termasuk menawarkan pembayaran pengganti panen kepada petani.
Petani cengkeh yang dalam kondisi terjepit karena tuntutan kebutuhan rumah tangga, tidak bisa berbuat apa-apa, selain pasrah dengan keadaan dan menerima tawaran pengijon kendati hati kecilnya menjerit.
"Terpaksa meminjam uang ke pengijon meskipun sudah jelas rugi besar, karena hanya itu jalan satu-satunya. Berharap ke bank hampir mustahil," keluh Israel Rumimper, petani Kecamatan Tombulu, Minahasa.
Dia mengaku sudah pernah mendatangi salah satu bank di Manado, tetapi tidak membawa hasil, selalu terbentur persyaratan seperti sertifikat yang tidak mungkin dipenuhi.
Hukum Tua Desa Rumengkor, Kecamatan Tombulu, Minahasa, Martinus Mamuaya mengatakan, sebagian besar petani di desa yang dia pimpin, memang tidak punya sertifikat tanah perkebunan cengkeh.
"Sebagian besar petani tidak mengurus sertifikat, selain pengurusannya tidak mudah. Petani kurang peduli dengan soal ini, tak heran bila kemudian tidak bisa melakukan akses ke perbankan," kata Martinus. Akses yang kurang menyebabkan petani cengkeh semakin terperosok dan pada akhirnya lari ke pengijon.
Dari penelusuran di beberapa desa di kabupaten Minahasa, harga yang ditawarkan pengijon sangat rendah, tidak lebih dari seperlima dari harga cengkeh di pasaran sekarang.
Bila harga cengkeh saat ini Rp55 ribu per kilogram, maka patokan harga penawaran pengijon yang diterima petani paling tinggi di kisaran Rp10 ribu per kilogram, dan nanti saat panen tiba, petani wajib membayar setara sekilo cengkeh.
"Pemerintah daerah terus berupaya agar petani lepas dari ijon, tetapi karena petani sendiri terdesak kebutuhan sehingga praktik ini tidak pernah hilang hingga sekarang," kata Jeff.
Jeff mengatakan, satu-satunya jalan keluar yang bisa ditempuh pemerintah daerah saat ini, yakni menghimbau perbankan untuk lebih berani menyalurkan kredit ke petani cengkeh.
Asisten Ekonomi dan Keuangan Pemerintah Provinsi Sulut, Marietta Kuntag, mengatakan, perbankan supaya lebih berani membantu petani cengkeh dengan bersedia mengucurkan kredit.
"Perbankan diminta mengupayakan bagaimana caranya agar petani cengkeh bisa mendapatkan pinjaman dana. Petani mampu mengembalikan dana, asalkan pihak bank memberikan pengertian sebelum mereka meminjam uang," kata Marietta.
Pemerintah daerah, kata Marietta tidak punya jalan keluar lain untuk membantu petani, sebab dana pemerintah saat ini tak cukup untuk permodalan, jalan keluarnya hanya melalui kredit bank.
"Sudah berulangkali kami meminta bank untuk memeberikan kredit, tetapi perbankan tetap bergeming," katanya.
Uluran bank kepada petani cengkeh sangat diperlukan, karena masa panen hanya berlangsung setahun sekali.
"Meskipun saat panen raya hasilnya lebih dari cukup untuk membiayai hidup sehari-hari, tetapi karena panennya hanya setahun sekali banyak petani yang akhirnya jatuh miskin," ujarnya.
Banyak petani akhirnya tinggal menjadi penonton, punya lahan perkebunan luas, tetapi tidak pernah lagi menikmati hasilnya karena habis dibayarkan kepada pengijon.
Produksi menurun
Berdasarkan perkiraan tahun 2010 produksi cengkeh petani Sulut akan mencapai 15 ribu ton, jumlah tersebut mengalami penurunan cukup besar dibandingkan panen raya terakhir tiga tahun lalu yang hampir mencapai 20 ribu ton.
Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri, Disperindag Sulut, Janny Rembet mengatakan, perhitungan produksi cengkeh Sulut akan turun menjadi hanya 15 ribu ton pada tahun 2010, karena sebagian tanaman milik petani sudah dalam kondisi rusak sehingga tidak mampu berproduksi maksimal.
"Meskipun produksi cengkeh Sulut turun tahun depan, tetapi peranan tanaman ini sebagai penopang ekonomi masyarakat Sulut tetap dominan, apalagi bila harga mampu bertahan cukup baik di atas Rp50 ribu seperti saat ini," kata Janny.
Tetapi Janny mengaku sulit memastikan harga cengkeh mampu bertahan seperti saat ini, sebab berdasarkan pengalaman, harga bakal ambruk saat panen raya tiba, karena sudah menjadi hukum pasar dimana saat penawaran lebih tinggi dari permintaan maka harga akan turun.
Tren harga yang cenderung turun saat panen tiba tersebut, menjadi salah satu faktor diperhitungkan para pengijon sehingga lebih terdorong memberi penawaran harga termurah kepada petani saat melakukan transaksi ijon.
Dengan kondisi ini, maka petani cengkeh makin terjepit. Bila ini terus terjadi maka pemiskinan ribuan petani cengkeh Sulut akan terus berlangsung.
Ketua APCI, Octavianus Rondonuwu mengatakan, hanya dua jalan yang bisa ditempuh pemerintah dalam membantu petani cengkeh sehingga tidak selalu terjerat ijon, pertama mempermudah akses ke bank, dan cara kedua menyediakan dana talangan kepada petani.
sumber : www.vibizconsulting.com
Kuku-kuku mereka mencengkeram petani, hingga mereka tak mungkin berkelit. Pengijon tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Petanilah yang mendekat kepada mereka, saat mereka terdesak kebutuhan rumah tangga, sehingga mereka meminjam uang dengan jaminan hasil panen.
Ketua Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia(APCI), Octavianus Rondonuwu, mengatakan, kedekatan petani cengkeh pada pengijon merupakan kenyataan yang terus terjadi dan sudah berlangsung sejak jaman dulu kala.
"Petani membutuhkan dana, sementara berharap ke perbankan hampir tidak mungkin maka jalan satu-satunya yang paling mudah dan cepat yakni lari ke pelepas uang," kata Octavianus.
Para pemilik uang pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, mereka langsung melancarkan aksi, termasuk menawarkan pembayaran pengganti panen kepada petani.
Petani cengkeh yang dalam kondisi terjepit karena tuntutan kebutuhan rumah tangga, tidak bisa berbuat apa-apa, selain pasrah dengan keadaan dan menerima tawaran pengijon kendati hati kecilnya menjerit.
"Terpaksa meminjam uang ke pengijon meskipun sudah jelas rugi besar, karena hanya itu jalan satu-satunya. Berharap ke bank hampir mustahil," keluh Israel Rumimper, petani Kecamatan Tombulu, Minahasa.
Dia mengaku sudah pernah mendatangi salah satu bank di Manado, tetapi tidak membawa hasil, selalu terbentur persyaratan seperti sertifikat yang tidak mungkin dipenuhi.
Hukum Tua Desa Rumengkor, Kecamatan Tombulu, Minahasa, Martinus Mamuaya mengatakan, sebagian besar petani di desa yang dia pimpin, memang tidak punya sertifikat tanah perkebunan cengkeh.
"Sebagian besar petani tidak mengurus sertifikat, selain pengurusannya tidak mudah. Petani kurang peduli dengan soal ini, tak heran bila kemudian tidak bisa melakukan akses ke perbankan," kata Martinus. Akses yang kurang menyebabkan petani cengkeh semakin terperosok dan pada akhirnya lari ke pengijon.
Dari penelusuran di beberapa desa di kabupaten Minahasa, harga yang ditawarkan pengijon sangat rendah, tidak lebih dari seperlima dari harga cengkeh di pasaran sekarang.
Bila harga cengkeh saat ini Rp55 ribu per kilogram, maka patokan harga penawaran pengijon yang diterima petani paling tinggi di kisaran Rp10 ribu per kilogram, dan nanti saat panen tiba, petani wajib membayar setara sekilo cengkeh.
"Pemerintah daerah terus berupaya agar petani lepas dari ijon, tetapi karena petani sendiri terdesak kebutuhan sehingga praktik ini tidak pernah hilang hingga sekarang," kata Jeff.
Jeff mengatakan, satu-satunya jalan keluar yang bisa ditempuh pemerintah daerah saat ini, yakni menghimbau perbankan untuk lebih berani menyalurkan kredit ke petani cengkeh.
Asisten Ekonomi dan Keuangan Pemerintah Provinsi Sulut, Marietta Kuntag, mengatakan, perbankan supaya lebih berani membantu petani cengkeh dengan bersedia mengucurkan kredit.
"Perbankan diminta mengupayakan bagaimana caranya agar petani cengkeh bisa mendapatkan pinjaman dana. Petani mampu mengembalikan dana, asalkan pihak bank memberikan pengertian sebelum mereka meminjam uang," kata Marietta.
Pemerintah daerah, kata Marietta tidak punya jalan keluar lain untuk membantu petani, sebab dana pemerintah saat ini tak cukup untuk permodalan, jalan keluarnya hanya melalui kredit bank.
"Sudah berulangkali kami meminta bank untuk memeberikan kredit, tetapi perbankan tetap bergeming," katanya.
Uluran bank kepada petani cengkeh sangat diperlukan, karena masa panen hanya berlangsung setahun sekali.
"Meskipun saat panen raya hasilnya lebih dari cukup untuk membiayai hidup sehari-hari, tetapi karena panennya hanya setahun sekali banyak petani yang akhirnya jatuh miskin," ujarnya.
Banyak petani akhirnya tinggal menjadi penonton, punya lahan perkebunan luas, tetapi tidak pernah lagi menikmati hasilnya karena habis dibayarkan kepada pengijon.
Produksi menurun
Berdasarkan perkiraan tahun 2010 produksi cengkeh petani Sulut akan mencapai 15 ribu ton, jumlah tersebut mengalami penurunan cukup besar dibandingkan panen raya terakhir tiga tahun lalu yang hampir mencapai 20 ribu ton.
Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri, Disperindag Sulut, Janny Rembet mengatakan, perhitungan produksi cengkeh Sulut akan turun menjadi hanya 15 ribu ton pada tahun 2010, karena sebagian tanaman milik petani sudah dalam kondisi rusak sehingga tidak mampu berproduksi maksimal.
"Meskipun produksi cengkeh Sulut turun tahun depan, tetapi peranan tanaman ini sebagai penopang ekonomi masyarakat Sulut tetap dominan, apalagi bila harga mampu bertahan cukup baik di atas Rp50 ribu seperti saat ini," kata Janny.
Tetapi Janny mengaku sulit memastikan harga cengkeh mampu bertahan seperti saat ini, sebab berdasarkan pengalaman, harga bakal ambruk saat panen raya tiba, karena sudah menjadi hukum pasar dimana saat penawaran lebih tinggi dari permintaan maka harga akan turun.
Tren harga yang cenderung turun saat panen tiba tersebut, menjadi salah satu faktor diperhitungkan para pengijon sehingga lebih terdorong memberi penawaran harga termurah kepada petani saat melakukan transaksi ijon.
Dengan kondisi ini, maka petani cengkeh makin terjepit. Bila ini terus terjadi maka pemiskinan ribuan petani cengkeh Sulut akan terus berlangsung.
Ketua APCI, Octavianus Rondonuwu mengatakan, hanya dua jalan yang bisa ditempuh pemerintah dalam membantu petani cengkeh sehingga tidak selalu terjerat ijon, pertama mempermudah akses ke bank, dan cara kedua menyediakan dana talangan kepada petani.
sumber : www.vibizconsulting.com
0 komentar:
Posting Komentar